Senin, 10 Oktober 2016
BATU BATIKAM, SIMBOL AWAL DEMOKRASI DI MINANGKABAU
Sebongkah
batu besar dan keras dengan sebuah lubang menembusnya sebagai bukti bisu
sejarah awal demokrasi di Minangkabau. Konon batu yang dikenal dengan Batu
Batikam ini menjadi sarana pelampiasan amarah Datuak Perpatiah Nan Sabatang
ketika bertikai dengan Datuak Katumanggungan yang terletak
di jalan lintas Batusangkar – Padang Panjang yang tidak berapa jauh dari
Simpang Manunggal Lima Kaum.
Dari
sejarahnya, Datuak Perpatiah Nan Sabatang mengalir darah seorang bapak
aristokrat atau kaum cerdik pandai dan Datuak Katumanggungan mempunyai
bapak yang otokrat atau seorang raja yang berpunya, dan keduanya merupakan
Saudara se ibu, karena mengalir darah ibu yang sama.
Walau
bersaudara se Ibu, namun karena pembawaan dari darah bapak yang berlainan
ternyata berpengaruh terhadap masing-masing pandangan hidup. Datuak
Perpatiah Nan Sabatang menginginkan masyarakat diatur dengan semangat
“duduak samo randah, tagak samo tinggi” (duduk sama rendah, berdiri sama
tinggi) atau juga dinamakan dengan menganut sistem demokratik.
Sedangkan
Datuak
Katumanggungan menginginkan rakyat diatur dalam sebuah tatanan yang
“bajanjang naiak, batanggo turun” (berjenjang naik, bertangga turun” atau
sistem hierarkhial.
Perbedaan
mendasar inilah yang mengakibatkan pertikaian dan perbedaan pendapat diantara
keduanya, sehingga suatu masa terjadi perdebatan yang sengit bahkan sudah
mengarah pertikaian dan perkelahian.
Dalam
keadaan saling memendam amarah, dua saudara ini sama-sama menghindari untuk
saling melukai, maka sebuah batulah menjadi sasaran kemarahan dua datuak ini yang kemudian dikenal dengan
nama Batu
Batikam (batu yang ditikam/tusuk).
Setelah
mempertimbangkan segala hal, maka Datuak Perpatiah Nan Sabatang pergi
merantau dengan tujuan memperbandingkan keyakinannya dengan dunia luar. Datuak
Katumanggungan sebaliknya, ia
memutuskan untuk tetap tinggal dan menjaga kampung halaman namun tetap
mempelajari kumpulan aturan dan peraturan yang ditinggalkan leluhur. Dua cara
berbeda namun satu cita-cita dan tujuan, yakni mengatur rakyat agar sejahtera.
Setelah
beberapa masa meninggalkan kampung halamannya, Datuak Perpatiah Nan Sabatang
kembali bertemu dengan saudaranya Datuak Katumanggungan. Namun
kematangan ilmu dan sikap keduanya sudah semakin baik, perbedaan pandangan
dasar mereka dahulu sudah dilupakan, merekapun sepakat untuk saling berbagi
ilmu dan saling bahu membahu menjadikan masyarakat kampung halaman menjadi
lebih baik dan sejahtera.
Demikianlah
sejarah singkat dua Saudara ini yang menjadi legenda dan sejarah bagi
masyarakat Minangkabau untuk menjadi pelajaran bagi anak cucu. Ini membuktikan
walau beda faham dan keyakinan, mereka dapat saling mendukung dan bekerjasama
untuk menggapai masyarakat yang lebih sejahtera.
(diambil dari beberapa sumber)
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar